Selasa, 06 Agustus 2019

Sejarah Desa Kaduela

Balai Desa Kaduela
Berdasarkan peninggalan yang ada keberadaan manusia di wilayah desa Kaduela ada sejak zaman Logam dimana salah satu bukti peninggalanya adalah “Situs Batu Asahan” yang di dalamnya tergambar tapak tangan manusia dan bekas asahan, yang diperkirakan bekas mengasah benda logam berbentuk senjata, disekitar batu tersebut ditemukan pula kotak batu yang berisi berbagai peralatan dari batu, seperti Kapak batu, piring batu, batu penggiling dll.

Manusia yang berkelana diwilayah desa kaduela pada saat itu sudah mulai hidup menetap dan telah mengenal bercocok tanam, dan adanya kehidupan spiritual dengan kepercayaan terhadap arwah leluhur, keberadaan manusia di wilayah desa kaduela dipicu adanya lahan yang subur dan adanya sumber air. Tentang apa dan bagaimana adanya kehidupan manusia kaduela pada saat itu tidaklah diketahui, karna belum adanya penelitian terhadap peningalan-peninggalan yang ada, namun berdasarkan cerita rakyat turun temurun cerita tentang adanya desa Kaduela dimulai dari adanya babad padepokan Janggala manik, (hutan di 600 M sebelah barat Balai desa Kaduela) oleh para prajurit kerajaan Janggala sekitar tahun 1059 M yang lari ke wilayah gunung Ciremai setelah dikalahkan oleh Kerajaan Kediri, tempat dimana mereka tinggal dinamai sama dengan nama Istana Kerajaan Janggala yakni Istana Janggala Manik.

  • Asal Mula Padepokan Janggala Manik
Pada tahun 1006-1045 di wilayah Sungai Brantas berdiri Kerajaan kahuripan yang didirikan oleh Airlangga, dengan Ibukota kerajaan terletak di Kahuripan (Surabaya). Menurut prasasti Terep, kota Kahuripan didirikan oleh Airlangga tahun 1032, karena ibu kota yang lama, yaitu Watan Mas direbut seorang musuh wanita. 
Berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, pada tahun 1042 pusat pemerintahan Airlangga sudah pindah ke Daha. Tidak diketahui dengan pasti mengapa Airlangga meninggalkan Kahuripan
Meskipun raja Janggala yang sudah diketahui namanya hanya tiga orang saja, namun kerajaan ini mampu bertahan dalam persaingan sampai kurang lebih 90 tahun lamanya. Menurut prasasti Ngantang (1035),Kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri Jayabhaya raja Kadiri, dengan semboyan yang terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang. Pada tahun 1042 itu pula, Airlangga turun takhta. Putri mahkotanya yang bernama Sanggramawijaya Tunggadewi lebih dulu memilih kehidupan sebagai pertapa, sehingga timbul perebutan kekuasaan antara kedua putra Airlangga yang lain, yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.
Akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Sri Samarawijaya mendapatkan Kerajaan Kadiri di sebelah barat yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan (Lembu Amiluhur) mendapatkan Kerajaan Janggala di sebelah timur yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan
Pembagian kerajaan sepeninggal Airlangga terkesan sia-sia, karena antara kedua putranya tetap saja terlibat perang saudara untuk saling menguasai. 
Pada awal berdirinya, Kerajaan Janggala lebih banyak meninggalkan bukti sejarah dari pada Kerajaan Kadiri. Beberapa orang raja yang diketahui memerintah Janggala antara lain:
  1. Mapanji Garasakan, berdasarkan prasasti Turun Hyang II (1044), prasasti Kambang Putih, dan prasasti Malenga (1052).
  2. Alanjung Ahyes, berdasarkan prasasti Banjaran (1052).
  3. Samarotsaha, berdasarkan prasasti Sumengka (1059).
Raja pertama Janggala bernama Mapanji Garasakan alias Lembu Amiluhur, putra Resi Gentayu alias Airlangga. Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya yang bernama Panji Asmarabangun, yang bergelar Prabu Suryawisesa. 
Panji Asmarabangun inilah yang sangat terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama Galuh Candrakirana dari Kediri. Dalam pementasan Ketoprak, tokoh Panji setelah menjadi raja Janggala juga sering disebut Sri Kameswara.
Keluarga kerajaan Janggala akhirnya lari ke wilayah Barat berlindung di kerajaan Pakuan yang kala itu dikuasai oleh Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati, sebagian dari pasukan janggala yang lari mendirikan padepokan di kaki gunung Ciremai dan menamai padepokan tersebut dengan nama Janggala Manik, dipilihnya tempat tersebut karena beberapa alasan :
  1. Wilayah utara Gunung Ciremai strategis sebagai penghubung antara tiga wilayah, panjalu di selatan, Kediri di timur dan tarumanagara di barat.
  2. Wilayah hutan Janggala yang didirikan adalah bekas tempat tinggal manusia jaman Perunggu sehingga banyak hal yang bisa digunakan untuk bertahan hidup, disamping adanya mata air sebagai sumber kehidupan.

  • Asal Mula Penamaan Kaduela
Dalam kaitan dengan keberadaan desa Kaduela, saat Caruban memproklamirkan diri lepas dari Kerajaan Hindu Pajajaran, Prabu Cakrabumi yang telah beralih keyakinan memeluk agama Islam dan mengganti nama menjadi Prabu Cakrabuana, memerintahkan pasukanya untuk mengamankan wilayah kekuasaanya diantaranya ke wilayah selatan mengutus seorang Ulama asal Baghdad yang bernama Syeh Maulana Makhdum Ibrahim (1490-1575) bersamaan dengan diutusnya Ki Mangun Tapa ke hutan Singkup, Ki Sapujagat ke Hutan Pasawahan, Ki Beyi Ke hutan Cikalahang, diutusnya Syeh Maulana Makhdum Ibrahim untuk menjadi pimpinan wilayah di hutan Janggala manik juga di dasarkan pada permintaan beliau yang hendak mengasingkan diri menghindari konflik kepercayaan ajaran Syeh Siti Jenar.
Keberadaan Syeh Maulana Makdum Ibrahim di hutan janggala bersama dengan istrinya bernama Nyimas Siti Maryam disambut baik oleh penduduk setempat yang saat itu masih menganut kepercayaan pada arwah (Agama Sangiang) lalu ia menata wilayah sekitar hutan, membentuk padepokan Janggala manik, membuka hutan dijadikan sawah dan kebun serta pemukiman baru di luar padepokan.
Pada masa kemunculan islam di Caruban tersebutlah seorang pangeran dari kerajaan pajajaran yang bernama Ewangga, yang mencari kebenaran Islam melalui wangsit yang menyatakan terdapat pada sepasang udang di laut jawa, ketika beliau kesana kemari mencari sepasang udang bertemulah dengan pangeran Cakrabuana yang berjalan di atas laut bersama adiknya yang bernama nyimas Lara Santang, kakak beradik putra prabu Siliwangi, kemudian beliau berguru pada pangeran Cakrabuana (Nama lain dari mbah kuwu Cirebon, dan Syeh Abdullah iman).
Setelah lama berguru selanjutnya Ewangga diperintahkan menjadi adipati di wilayah Kuningan dengan ibukota di Luragung, dimana sebelumnya telah ditempatkan pangeran Kuningan ( Pangeran Arya Kamuning ) yang kala itu masih kecil.
Diluar itu sejarah terus berjalan prabu Siliwangi mengutus prabu Cakraningrat untuk menjadi adipati di wilayah majalengka selatan (Kerajaan rajagaluh dengan ibukota di Pajajar/Indrakila) dengan tujuan membendung langkah perluasan kerajaan Islam Cirebon, dan munculah kerajaan Galuh pimpinan prabu Cakraningrat. Setelah beranjak dewasa pangeran Kuningan tumbuh menjadi panglima perang yang gagah berani dan pada suatu saat pangeran Kuningan berencana menyerang kerajaan Galuh, ketika mengutarakan maksud tersebut pada Prabu Ewangga dan mbah kuwu Cirebon maksud tersebut ditolak dengan alasan Galuh terlalu kuat untuk dilawan oleh kerajaan Kuningan, namun larangan itu tidak digubris oleh pangeran Kuningan, dengan dibantu oleh prajurit prajurit terlatih dari Cirebon seperti ki Sabuk Halu, Pangeran Sapu Jagat, ki Mangun Tapa, ki Suta Pamalang, dan Kasep sabale( Putra Arya Kamuning), dan perbekalan yang dianggap Cukup, maka berangkatlah pangeran Kuningan dari Luragung kearah barat menuju Galuh.
Pertempuran akhirnya terjadi di wilayah Gunung Pola ketika pasukan Kuningan menyerbu Galuh, namun berkat ketangguhan Prabu Cakraningrat beserta pengawalnya pasukan kuningan berhasil dipukul mundur . Pangeran kuningan sendiri dikejar oleh pasukan galuh hingga ke bukit Janggala (Kaduela).
Keadaan benar–benar terdesak hingga dalam pengejaran pangeran Kuningan bersembunyi dalam rerimbunan Oyong yang ternyata didalamnya ada seekor kijang yang langsung keluar karena terusik, pasukan Galuh terus mencari kedalam rumpun oyong tersebut namun seizin Allah, Pangeran Kuningan tak terlihat hingga diputuskan bahwa Kijang tersebut adalah jelmaan pangeran Kuningan, dan dibunuhlah kijang tersebut dan selamatlah pangeran Kuningan dari maut. Setelah dirasa aman keluarlah beliau dari persembunyian lalu beliau menamakan Bukit Janggala dan sekitarnya sebagai Kaduela yang artinya Ado saking Blai (Jauh dari mara Bahaya).
Pangeran Kuningan lalu mengumpulkan kembali pasukanya dan menyuruh membuka hutan tersebut, dalam usahanya pangeran Kuningan mendapat dukungan dari Pangeran Cakrabuana dan Syeh Maulana Makdum Ibrahim kendati sebelumnya keduanya tidak menyetujui penyerangan tersebut.
Dipinggiran Kaduela dibuatlah dua padepokan tempat menempa ilmu bagi pasukan Kuningan dan pengiringnya yaitu padepokan astana yang dipimpin oleh Syeh Abdul iman dan di Bukit janggala dipimpin oleh Syeh Makdum yang bergelar Prabu Anom janggala manik, di luar wilayah Kaduela dibuat pula padepokan Pasarean oleh Pangeran sapu jagat dan dilembah Singkup dibuat Padepokan oleh Ki Mangun tapa.
Setelah dirasa cukup kuat kembali pangeran Kuningan memohon bantuan dari Kerajaan Caruban nagari untuk menyerang galuh yang kedua kalinya, namun dalam perbatasan yang dihadang oleh Sungai Ciputri, pasukan gabungan tidak ada yang mampu menyebrangi sungai tersebut, setiap yang turun ke sungai matilah ia, lalu prabu Ewangga mencoba terbang di atas sungai tersebut namun juga tidak berhasil, dan akhirnya tanpa ada perlawanan apapun pasukan gabungan kembali tanpa hasil.
Prabu Ewangga lalu meminta fatwa dari Pangeran Cakrabuana demi mengalahkan Galuh, yang menunjuk nyimas Gandasari dari kerajaan palimanan untuk mengadakan penyusupan.
Dipilihnya nyimas Gandasari karena Prabu Cakraningrat sudah lama memendam keinginan untuk mempersunting sang putri, singkat cerita sang putri berhasil bertemu dengan Prabu cakraningrat dan menyatakan untuk bersedia disunting oleh sang prabu, dan kemudian jimat dari sang prabu berhasil dilumpuhkan sang putri hingga pertahanan Sungai Ciputri hilang.
Setelah itu dengan mudah pasukan gabungan melewati sungai Ciputri dan menyerang Galuh, dengan menduduki ibukotanya yakni Indrakila, namun sang prabu Cakraningrat berpantang untuk menyerah dan masuk Islam, dia lalu memindahkan istananya secara gaib ke wilayah Pasawahan yang dikenal dengan Hutan larangan Lebak Rendeu, sang prabu mengeluarkan tantangan pada Prabu Cakrabuana bahwa ia bersumpah akan menggoda rakyat Cirebon dan Kuningan untuk menjadi pengikutnya dengan iming-iming harta benda, dan pada saat ini Lebak rendeu memang banyak didatangi sebagai pemujaan pencari harta benda gaib.
Setelah berhasil menyerang Galuh pangeran kuningan beserta tentaranya dari luragung tidak kembali ke luragung, namun berniat meneruskan peperangan dengan menyerang kerajaan Indramayu yang dipimpin oleh raja Hindu yang bernama Prabu Wira Lodra, niat tersebut dihalangi oleh oleh pangeran Cakrabuana yang menyatakan “Wong Dermayon Sangar raine alus atine, wong kuningan bli nurut perentah wong tua” titah tersebut kembali dilanggar oleh pasukan Kuningan yang terus menyerang Indramayu.
Namun Prabu wiralodra berhasil mengelak dari pasukan kuningan dan lari ke Caruban Nagari dan menyatakan masuk Islam pada pangeran cakrabuana. Sementara pasukan kuningan disapu oleh air bah dan hanyut ke laut jawa, sisa pasukan yang hidup termasuk Pangeran Kuningan lalu kembali ke luragung. Sementara pasukan gabungan yang tidak ikut menyerang Indramayu dan turut pada titah mbah kuwu, pulang ke cirebon lalu beberapa pimpinan pasukan diperintahkan untuk meneruskan pembangunan padepokan di lereng Ciremai seperti Syeh Maulana makdum Ibrahim di Janggala manik ( Kaduela ) Ki mangun tapa di lembah Singkup dan Pangeran sapujagat di Pasarean (Pasawahan), untuk mempertahankan eksistensi Kerajaan Islam Cirebon. Sisa-sisa peninggalan dari berkelananya pasukan prabu Siliwangi dan pasukan ewangga masih terdapat di beberapa tempat di wilayah Desa kaduela.

Previous
This Is The Oldest Page

1 komentar so far


EmoticonEmoticon