Jumat, 23 Agustus 2019

KKN Uniku Melakukan Survey Terkait Potensi Desa Kaduela

Caption / deskripsi singkat dari gambar diatas.
KADUELA – Mahasiswa dari Kelompok 47 KKN UNIKU 2019 melakukan survei kedua di Desa Kaduela, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, pada hari senin 15 Juli 2019.
Pelaksanaan survei tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memantapkan wawasan kami mengenai potensi desa yang bisa dimanfaatkan, sehingga data yang diperoleh bisa diolah secara maksimal untuk kami siap mengabdi dalam pelaksanaan KKN yang akan berjalan dari tanggal 23 Juli sampai 23 Agustus mendatang.
Dalam survei kali ini, ada beberapa pihak yang kami telah datangi untuk menggali informasi yang berkaitan yakni diantaranya adalah dari pihak karang taruna dan BUMDES serta dari pihak pelaksana kegiatan seperti UKM di desa tersebut.
Desa kaduela memang memiliki potensi wisata yang menjanjikan, salah satunya adalah situ Ciceureum atau kita sering menyebutnya Talaga Biru. Namun, dengan adanya survey ini diharapkan bisa mendapat informasi mengenai potensi yang lain yang nantinya bisa kami munculkan atau unggulkan sehingga bisa menjadi daya tarik pengunjung wisata atau bahkan bisa membantu perekonomian dan pembangunan di desa tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang staf karang taruna sekaligus juga menjadi bagian pihak dari BUMDES yakni bapak Jaja, kami mendapatkan beberapa informasi yang sangat bermanfaat mengenai potensi lain di desa tersebut. Menurut beliau memang benar yang paling menjadi ciri khas dari desa tersebut saat ini adalah di bidang wisatanya, akan tetapi masih banyak beberapa potensi yang harus dimaksimalkan dan dimunculkan. Tak hanya dari segi wisatanya saja tetapi dari produk-produk yang bisa dihasilkan seperti dari UKM yang dilakukan oleh Ibu-ibu di desa tersebut.
Jika dilihat dari segi wisata, masih banyak hal-hal yang perlu dimaksimalkan yakni diantaranya dari segi promosi dan pemasaran juga dari pengelolaan informasi yang belum maksimal. Selain itu, kurangnya Tour Guide menjadi hal yang perlu dipertimbangkan untuk memaksimalkan potensi wisata tersebut. Namun yang menjadi sorotan kami disana khususnya di tempat wisata, kami melihat belum adanya warung makan yang menurut kami adalah sesuatu hal yang penting juga untuk diadakan. Tak hanya itu, produk cinderamata juga merupakan hal penting yang perlu di ekpose, mengingat bahwa semua tempat wisata tak lepas dari penawaran cindermata yang biasanya menjadi icon dari tempat wisata yang dikunjungi. Kaitannya dengan cinderamata, desa kaduela memiliki salah satu UKM di bidang kerajinan yang diberdayakan oleh Ibu-ibu disana. Selain itu, disananya juga perlu adanya pemanfaatan dalam segi pencetakan foto pengunjung wisata, sehingga orang awam tak perlu repot untuk mencetaknya. Tak hanya itu, menurut beliau juga tadinya jika saja MOU antara investor dengan BUMDES berjalan dengan baik mungkin saja bisa dimaksimalkan dalam hal percetakan sablon di baju.
Pihak BUMDES di desa kaduela sangat antusias memberdayakan masyarakatnya agar lebih maju. Segala upaya telah dilakukan termasuk studi banding ke tempat lain untuk memperluas wawasan bagaimana cara yang tepat dalam mengelola potensi yang ada di desa tersebut termasuk dari segi Sumber Daya, baik itu Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusianya. Salah satu yang menjadi upaya dari pihak BUMDES selain dari pemberdayaan dan pemanfaatan tempat wisata, pihak BUMDES juga berupaya untuk menambah unit dalam pengelolaan Kolam Ikan, mengingat potensi perairan yang baik tentunya bisa dimanfaatkan dalam hal perikanan. Namun, menurut bapak Jaja, selaku staf Karang Taruna disana, hal tersebut belum bisa dilaksanakan sepenuhnya mengingat pihaknya juga harus mencari tempat untuk bisa merealisasikan unit tersebut.
Ada hal menarik lainnya, yang menjadi pembicaraan, yakni buah nangka. Buah nangka merupakan hasil perkebunan yang bisa dibilang menjadi salah satu potensi unggul di desa tersebut. Pihak BUMDES lewat pemberdayaan UKM-UKM disana tadinya ingin memanfaatkan buah nangka tersebut menjadi olahan makanan yang bernilai tinggi, diantaranya kripik nangka, dan nangka panggang. Namun, terdapat kendala dalam pengolahannya karena peralatan yang belum memadai dan mahal serta wawasan mengenai tata cara pengolahannya masih belum bisa dimaksimalkan, apalagi buah nangka yang hanya bisa dipanen secara musiman membuat pemanfaat dari buah nangka masih kurang bisa dimaksimalkan. Kendati demikian, pihak BUMDES beserta Karang Tarunanya, terus berupaya untuk meningkatkan mutu dan kualitas dari potensi di desa kaduela tersebut ujarnya.
Dengan adanya pelaksanaan KKN oleh mahasiswa Universitas Kuningan yang dimotori oleh kelompok 47 ini, diharapkan bisa menjadi penggerak dan pembaharu bagi pemanfaatan potensi yang ada di Desa Kaduela, Kecamatan Pasawahan, sehingga bisa menjadi ide atau gagasan yang berlanjut untuk membantu membangun desa yang lebih efektif dan efisien.

Read More

Rabu, 21 Agustus 2019

Talaga Biru Cicerem

Pintu Masuk Talaga Biru
Dalam perkembangan sejarah padepokan Janggala Manik, sering adanya pertemuan antar tokoh yang membahas tentang strategi peperangan dan pertahanan dalam upaya penyebaran Agama Islam, Pangeran Cakrabuana dengan nama Islam Syeh Abdullah Iman sering kali mengunjungi wilayah-wilayah kekuasaanya termasuk di wilayah padepokan Janggala manik, salah satu tempat yang sering dipakai untuk pertemuan Syeh Maulana makdum Ibrahim dan Syeh Abdullah Iman adalah di sebuah mata air yang saat itu belum membentuk sebuah Situ, namun masih berupa mata air yang mengalir ke sebelah utara ke arah Padepokan Janggala Manik.
Pada tahun 1530 terjadilah pertemuan kedua tokoh tersebut, salah satu pembahasan yang di lontarkan yaitu upaya pengembangan pemukiman padepokan Janggala manik ke arah timur, namun hal ini terkendala oleh ketersediaan air, oleh karena itu Syeh Abdullah Iman member titah untuk membendung mata air tersebut agar menjadi sebuah situ yang airnya bisa mengalir ke arah timur, lalu Situ tersebut dinamai dengan Cicerem, yang mengandung arti Pacereman atau tempat berkumpul/Pertemuan.
Dalam pada itu pula dibuatlah balai desa Kaduela pertama di sisi utara mata air Cicerem, yang dijadikan sebagai tempat pertemuan penduduk pedukuhan kala itu, namun selanjutnya pada masa pemerintahan Abah Kuwu Ormat (1870-1926) pusat desa dipindahkan ke lahan yang lebih datar di sekitar aliran Cicerem, sehingga bisa menampung keberadaan Mesjid sebagai pusat syiar Islam, Balai Desa sebagai pusat pemerintahan dan Alun-alun sebagai sentral kegiatan masyarakat.
Upaya pembendungan, pelebaran mata air dan pembuatan saluran ke arah timur dipimpin langsung oleh Syeh Abdullah Iman, namun saluran ke arah pemukiman dikerjakan kemudian pada masa kekuasaan Kuwu Bewu pada tahun 1811, lalu pengembangan saluran Cicerem dilanjutkan pada Zaman Tanam Paksa oleh VOC pada tahun 1840, kaduela saat itu dipimpin oleh Kuwu Bongbong, pembuatan Jalur pemisah antara aliran Cibuluh dan Cicerem pun dilakukan pada masa tersebut.
Perkembangan Cicerem jaman kemerdekaan di lakukan pada masa orde baru, melalui UU No.11/1974 tentang Pengairan, melalui undang-undang inilah Saluran cicerem yang semula hanya berupa galian tanah di ubah dengan pasangan Batu, dan dinamai proyek Prosida.
Situ Cicerem sendiri mulai di rekonstruksi kembali pada tahun 1999 melalui program PPK/KDP (saat ini berubah menjadi PNPM Perdesaan) dimana program ini membangun senderan pada sisi sebelah utara.
Tahun 2003 kembali dibangun oleh PU Pengairan Kabupaten Kuningan memperkuat dinding sisi timur dan utara, kemudian pada tahun 2005 Dinas Suber Daya Air dan Pertabangan SDAP Kabupaten Kuningan melakukan pengerukan dan rekontruksi total pada dinding penahan air sebelah timur dan Utara dengan menggunakan alat berat Excavator /Beko.
Hutan wilayah Cicerem sendiri di tata melalui Program Desa Mandiri pada tahun 2010, dimana mulai tahun tersebut Cicerem dijadikan Camping Ground dan Obyek Wisata Milik Desa.
Read More

Selasa, 06 Agustus 2019

Sejarah Desa Kaduela

Balai Desa Kaduela
Berdasarkan peninggalan yang ada keberadaan manusia di wilayah desa Kaduela ada sejak zaman Logam dimana salah satu bukti peninggalanya adalah “Situs Batu Asahan” yang di dalamnya tergambar tapak tangan manusia dan bekas asahan, yang diperkirakan bekas mengasah benda logam berbentuk senjata, disekitar batu tersebut ditemukan pula kotak batu yang berisi berbagai peralatan dari batu, seperti Kapak batu, piring batu, batu penggiling dll.

Manusia yang berkelana diwilayah desa kaduela pada saat itu sudah mulai hidup menetap dan telah mengenal bercocok tanam, dan adanya kehidupan spiritual dengan kepercayaan terhadap arwah leluhur, keberadaan manusia di wilayah desa kaduela dipicu adanya lahan yang subur dan adanya sumber air. Tentang apa dan bagaimana adanya kehidupan manusia kaduela pada saat itu tidaklah diketahui, karna belum adanya penelitian terhadap peningalan-peninggalan yang ada, namun berdasarkan cerita rakyat turun temurun cerita tentang adanya desa Kaduela dimulai dari adanya babad padepokan Janggala manik, (hutan di 600 M sebelah barat Balai desa Kaduela) oleh para prajurit kerajaan Janggala sekitar tahun 1059 M yang lari ke wilayah gunung Ciremai setelah dikalahkan oleh Kerajaan Kediri, tempat dimana mereka tinggal dinamai sama dengan nama Istana Kerajaan Janggala yakni Istana Janggala Manik.

  • Asal Mula Padepokan Janggala Manik
Pada tahun 1006-1045 di wilayah Sungai Brantas berdiri Kerajaan kahuripan yang didirikan oleh Airlangga, dengan Ibukota kerajaan terletak di Kahuripan (Surabaya). Menurut prasasti Terep, kota Kahuripan didirikan oleh Airlangga tahun 1032, karena ibu kota yang lama, yaitu Watan Mas direbut seorang musuh wanita. 
Berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, pada tahun 1042 pusat pemerintahan Airlangga sudah pindah ke Daha. Tidak diketahui dengan pasti mengapa Airlangga meninggalkan Kahuripan
Meskipun raja Janggala yang sudah diketahui namanya hanya tiga orang saja, namun kerajaan ini mampu bertahan dalam persaingan sampai kurang lebih 90 tahun lamanya. Menurut prasasti Ngantang (1035),Kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri Jayabhaya raja Kadiri, dengan semboyan yang terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang. Pada tahun 1042 itu pula, Airlangga turun takhta. Putri mahkotanya yang bernama Sanggramawijaya Tunggadewi lebih dulu memilih kehidupan sebagai pertapa, sehingga timbul perebutan kekuasaan antara kedua putra Airlangga yang lain, yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.
Akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Sri Samarawijaya mendapatkan Kerajaan Kadiri di sebelah barat yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan (Lembu Amiluhur) mendapatkan Kerajaan Janggala di sebelah timur yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan
Pembagian kerajaan sepeninggal Airlangga terkesan sia-sia, karena antara kedua putranya tetap saja terlibat perang saudara untuk saling menguasai. 
Pada awal berdirinya, Kerajaan Janggala lebih banyak meninggalkan bukti sejarah dari pada Kerajaan Kadiri. Beberapa orang raja yang diketahui memerintah Janggala antara lain:
  1. Mapanji Garasakan, berdasarkan prasasti Turun Hyang II (1044), prasasti Kambang Putih, dan prasasti Malenga (1052).
  2. Alanjung Ahyes, berdasarkan prasasti Banjaran (1052).
  3. Samarotsaha, berdasarkan prasasti Sumengka (1059).
Raja pertama Janggala bernama Mapanji Garasakan alias Lembu Amiluhur, putra Resi Gentayu alias Airlangga. Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya yang bernama Panji Asmarabangun, yang bergelar Prabu Suryawisesa. 
Panji Asmarabangun inilah yang sangat terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama Galuh Candrakirana dari Kediri. Dalam pementasan Ketoprak, tokoh Panji setelah menjadi raja Janggala juga sering disebut Sri Kameswara.
Keluarga kerajaan Janggala akhirnya lari ke wilayah Barat berlindung di kerajaan Pakuan yang kala itu dikuasai oleh Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati, sebagian dari pasukan janggala yang lari mendirikan padepokan di kaki gunung Ciremai dan menamai padepokan tersebut dengan nama Janggala Manik, dipilihnya tempat tersebut karena beberapa alasan :
  1. Wilayah utara Gunung Ciremai strategis sebagai penghubung antara tiga wilayah, panjalu di selatan, Kediri di timur dan tarumanagara di barat.
  2. Wilayah hutan Janggala yang didirikan adalah bekas tempat tinggal manusia jaman Perunggu sehingga banyak hal yang bisa digunakan untuk bertahan hidup, disamping adanya mata air sebagai sumber kehidupan.

  • Asal Mula Penamaan Kaduela
Dalam kaitan dengan keberadaan desa Kaduela, saat Caruban memproklamirkan diri lepas dari Kerajaan Hindu Pajajaran, Prabu Cakrabumi yang telah beralih keyakinan memeluk agama Islam dan mengganti nama menjadi Prabu Cakrabuana, memerintahkan pasukanya untuk mengamankan wilayah kekuasaanya diantaranya ke wilayah selatan mengutus seorang Ulama asal Baghdad yang bernama Syeh Maulana Makhdum Ibrahim (1490-1575) bersamaan dengan diutusnya Ki Mangun Tapa ke hutan Singkup, Ki Sapujagat ke Hutan Pasawahan, Ki Beyi Ke hutan Cikalahang, diutusnya Syeh Maulana Makhdum Ibrahim untuk menjadi pimpinan wilayah di hutan Janggala manik juga di dasarkan pada permintaan beliau yang hendak mengasingkan diri menghindari konflik kepercayaan ajaran Syeh Siti Jenar.
Keberadaan Syeh Maulana Makdum Ibrahim di hutan janggala bersama dengan istrinya bernama Nyimas Siti Maryam disambut baik oleh penduduk setempat yang saat itu masih menganut kepercayaan pada arwah (Agama Sangiang) lalu ia menata wilayah sekitar hutan, membentuk padepokan Janggala manik, membuka hutan dijadikan sawah dan kebun serta pemukiman baru di luar padepokan.
Pada masa kemunculan islam di Caruban tersebutlah seorang pangeran dari kerajaan pajajaran yang bernama Ewangga, yang mencari kebenaran Islam melalui wangsit yang menyatakan terdapat pada sepasang udang di laut jawa, ketika beliau kesana kemari mencari sepasang udang bertemulah dengan pangeran Cakrabuana yang berjalan di atas laut bersama adiknya yang bernama nyimas Lara Santang, kakak beradik putra prabu Siliwangi, kemudian beliau berguru pada pangeran Cakrabuana (Nama lain dari mbah kuwu Cirebon, dan Syeh Abdullah iman).
Setelah lama berguru selanjutnya Ewangga diperintahkan menjadi adipati di wilayah Kuningan dengan ibukota di Luragung, dimana sebelumnya telah ditempatkan pangeran Kuningan ( Pangeran Arya Kamuning ) yang kala itu masih kecil.
Diluar itu sejarah terus berjalan prabu Siliwangi mengutus prabu Cakraningrat untuk menjadi adipati di wilayah majalengka selatan (Kerajaan rajagaluh dengan ibukota di Pajajar/Indrakila) dengan tujuan membendung langkah perluasan kerajaan Islam Cirebon, dan munculah kerajaan Galuh pimpinan prabu Cakraningrat. Setelah beranjak dewasa pangeran Kuningan tumbuh menjadi panglima perang yang gagah berani dan pada suatu saat pangeran Kuningan berencana menyerang kerajaan Galuh, ketika mengutarakan maksud tersebut pada Prabu Ewangga dan mbah kuwu Cirebon maksud tersebut ditolak dengan alasan Galuh terlalu kuat untuk dilawan oleh kerajaan Kuningan, namun larangan itu tidak digubris oleh pangeran Kuningan, dengan dibantu oleh prajurit prajurit terlatih dari Cirebon seperti ki Sabuk Halu, Pangeran Sapu Jagat, ki Mangun Tapa, ki Suta Pamalang, dan Kasep sabale( Putra Arya Kamuning), dan perbekalan yang dianggap Cukup, maka berangkatlah pangeran Kuningan dari Luragung kearah barat menuju Galuh.
Pertempuran akhirnya terjadi di wilayah Gunung Pola ketika pasukan Kuningan menyerbu Galuh, namun berkat ketangguhan Prabu Cakraningrat beserta pengawalnya pasukan kuningan berhasil dipukul mundur . Pangeran kuningan sendiri dikejar oleh pasukan galuh hingga ke bukit Janggala (Kaduela).
Keadaan benar–benar terdesak hingga dalam pengejaran pangeran Kuningan bersembunyi dalam rerimbunan Oyong yang ternyata didalamnya ada seekor kijang yang langsung keluar karena terusik, pasukan Galuh terus mencari kedalam rumpun oyong tersebut namun seizin Allah, Pangeran Kuningan tak terlihat hingga diputuskan bahwa Kijang tersebut adalah jelmaan pangeran Kuningan, dan dibunuhlah kijang tersebut dan selamatlah pangeran Kuningan dari maut. Setelah dirasa aman keluarlah beliau dari persembunyian lalu beliau menamakan Bukit Janggala dan sekitarnya sebagai Kaduela yang artinya Ado saking Blai (Jauh dari mara Bahaya).
Pangeran Kuningan lalu mengumpulkan kembali pasukanya dan menyuruh membuka hutan tersebut, dalam usahanya pangeran Kuningan mendapat dukungan dari Pangeran Cakrabuana dan Syeh Maulana Makdum Ibrahim kendati sebelumnya keduanya tidak menyetujui penyerangan tersebut.
Dipinggiran Kaduela dibuatlah dua padepokan tempat menempa ilmu bagi pasukan Kuningan dan pengiringnya yaitu padepokan astana yang dipimpin oleh Syeh Abdul iman dan di Bukit janggala dipimpin oleh Syeh Makdum yang bergelar Prabu Anom janggala manik, di luar wilayah Kaduela dibuat pula padepokan Pasarean oleh Pangeran sapu jagat dan dilembah Singkup dibuat Padepokan oleh Ki Mangun tapa.
Setelah dirasa cukup kuat kembali pangeran Kuningan memohon bantuan dari Kerajaan Caruban nagari untuk menyerang galuh yang kedua kalinya, namun dalam perbatasan yang dihadang oleh Sungai Ciputri, pasukan gabungan tidak ada yang mampu menyebrangi sungai tersebut, setiap yang turun ke sungai matilah ia, lalu prabu Ewangga mencoba terbang di atas sungai tersebut namun juga tidak berhasil, dan akhirnya tanpa ada perlawanan apapun pasukan gabungan kembali tanpa hasil.
Prabu Ewangga lalu meminta fatwa dari Pangeran Cakrabuana demi mengalahkan Galuh, yang menunjuk nyimas Gandasari dari kerajaan palimanan untuk mengadakan penyusupan.
Dipilihnya nyimas Gandasari karena Prabu Cakraningrat sudah lama memendam keinginan untuk mempersunting sang putri, singkat cerita sang putri berhasil bertemu dengan Prabu cakraningrat dan menyatakan untuk bersedia disunting oleh sang prabu, dan kemudian jimat dari sang prabu berhasil dilumpuhkan sang putri hingga pertahanan Sungai Ciputri hilang.
Setelah itu dengan mudah pasukan gabungan melewati sungai Ciputri dan menyerang Galuh, dengan menduduki ibukotanya yakni Indrakila, namun sang prabu Cakraningrat berpantang untuk menyerah dan masuk Islam, dia lalu memindahkan istananya secara gaib ke wilayah Pasawahan yang dikenal dengan Hutan larangan Lebak Rendeu, sang prabu mengeluarkan tantangan pada Prabu Cakrabuana bahwa ia bersumpah akan menggoda rakyat Cirebon dan Kuningan untuk menjadi pengikutnya dengan iming-iming harta benda, dan pada saat ini Lebak rendeu memang banyak didatangi sebagai pemujaan pencari harta benda gaib.
Setelah berhasil menyerang Galuh pangeran kuningan beserta tentaranya dari luragung tidak kembali ke luragung, namun berniat meneruskan peperangan dengan menyerang kerajaan Indramayu yang dipimpin oleh raja Hindu yang bernama Prabu Wira Lodra, niat tersebut dihalangi oleh oleh pangeran Cakrabuana yang menyatakan “Wong Dermayon Sangar raine alus atine, wong kuningan bli nurut perentah wong tua” titah tersebut kembali dilanggar oleh pasukan Kuningan yang terus menyerang Indramayu.
Namun Prabu wiralodra berhasil mengelak dari pasukan kuningan dan lari ke Caruban Nagari dan menyatakan masuk Islam pada pangeran cakrabuana. Sementara pasukan kuningan disapu oleh air bah dan hanyut ke laut jawa, sisa pasukan yang hidup termasuk Pangeran Kuningan lalu kembali ke luragung. Sementara pasukan gabungan yang tidak ikut menyerang Indramayu dan turut pada titah mbah kuwu, pulang ke cirebon lalu beberapa pimpinan pasukan diperintahkan untuk meneruskan pembangunan padepokan di lereng Ciremai seperti Syeh Maulana makdum Ibrahim di Janggala manik ( Kaduela ) Ki mangun tapa di lembah Singkup dan Pangeran sapujagat di Pasarean (Pasawahan), untuk mempertahankan eksistensi Kerajaan Islam Cirebon. Sisa-sisa peninggalan dari berkelananya pasukan prabu Siliwangi dan pasukan ewangga masih terdapat di beberapa tempat di wilayah Desa kaduela.
Read More